Menilik ragam bahasa di facebook membutuhkan suatu ketelitian.
Karena ragam bahasa di facebook adalah ragam tulis yang kompleks. Akan tetapi
itu bukan suatu kendala justru suatu wahana eksklusif untuk menelaah aspek
kebahasaan dari media komunikasi elektronik.
Ragam bahasa diklasifikasikan
ke dalam dua bagian yaitu ragam bahasa menurut jenis pemakainya dan ragam
bahasa menurut golongan penuturnya. Ragam bahasa menurut jenis pemakainya lazim
kita kenal dengan logat/dialek masyarakat yang mendiami suatu daerah semisal
batak, jawa, sunda, bugis, betawi, dan lainnya. Sementara Ragam bahasa menurut
golongan penutur bahasa terbagi lagi menjadi tiga bagian diantaranya, 1. Ragam
bahasa menurut pendidikan formal; 2. Ragam bahasa menurut sikap penutur; dan 3.
Ragam bahasa menurut sarananya atau lazim dibagi atas ragam lisan dan ragam
tulisan. (Dalam “Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia edisi ketiga” 2008: 3,
karangan Hasan Alwi, dkk).
Baik ragam bahasa menurut
jenis pemakainya atau ragam bahasa menurt golongan penuturnya di facebook
semuanya tersedia. Bahkan bahasa gaul pun
berseliweran layaknya kendaraan bermotor di jalanan. Ragam bahasa itu ‘hidup’
saling ketergantungan satu sama lain. Dan kita tidak sadar bahwasanya ragam
bahasa tulis di facebook itu menyajikan kekayaan bahasa yang kita miliki.
Hal ini dapat kita ketahui
dari status yang di tulis facebooker yang hampir 80% dalam pengamatan saya
menggunakan bahasa Indonesia dan sisanya menggunakan bahasa daerah atau bahasa
Ibu. Jadi dalam hal ini kita tidak akan tahu kalau ternyata teman kita di
facebook itu tinggal di Kalimantan, Aceh, Toraja, Papua, Bandung, Medan, dan
lainnya, yang kesemuanya itu menggunakan bahasa Ibu sebagai alat komunikasi
dalam kehidupan sehar-hari.
Lalu apakah ada yang unik dari
ragam bahasa di facebook ini? Pastinya Ada, keunikan ragam bahasa ini kita
tilik dari laman obrolan dan status yang ditulis oleh facebooker. Mengapa di
laman obrolan? karena di laman obrolan ini facebooker tidak akan sadar bahwa
komunikasi yang dilakukannya adalah komunikasi dalam ragam bahasa tulis.
Sangkaan mereka, mereka sedang berbicara saja layaknya komunikasi dua arah yang
saling berhadapan, sehingga tidak disadari pula dialek bahasa ibu keluar dalam
bentuk ragam bahasa tulis. Misalnya, ketika saya ngobrol dengan sahabat dari Kalimantan . Dalam obrolan itu dia bertanya, “Ado apo Kang?” pertanyaan
dia (sahabat saya) dengan kalimat seperti itu jelas kita bisa menebaknya kalau
itu bukan ragam bahasa lisan bahasa Indonesia melainkan ragam bahasa lisan
dengan sentuhan dialek melayu.
Nah, ketika sahabat saya
bertanya demikian, ia hanya menyadari bahwa dia sedang berbicara face to face padahal dia lupa kalau
sebenarnya dia sedang berkomunikasi dengan media ragam bahasa tulis. Contah
lainnya, saya bertanya dalam bahasa Jawa pada sahabat saya yang asli suku jawa
itu, padahal saya asli sunda. “Piye kabare Mas?” Tanya saya dan ia menjawab
dengan jawaban yang mengagetkan “Alhamdulillah sae, samulihna?” atau ketika
saya ditanya oleh sahabat yang tinggal di Maluku, “Kang, nuju naon? Kumaha
kabarna salira, sae?”
Untuk contoh kedua ini tampak
komunikasi yang sering dilakukan di facebook ternyata membuat orang terlatih
untuk menguasai bahasa daerah lain, walaupun hanya sebatas bertanya kabar. Saya
kemudian menyimpulkan bahwa ragam bahasa lisan mengalir dengan sendiri dalam
ragam bahasa tulis di laman obrolan dalam facebook. Pengecualiannya hanya pada
tidak adanya tatap muka sehingga logat penutur satu sama lain tidak terdengar.
Tapi, dari rangkaian kalimat yang saya contohkan tadi seolah-olah satu sama
lain penutur dan penerima berbahasa lisan dengan bantuan bantuan media fb itu
tentunya.
Lalu bagaimana dengan ragam
bahasa dalam tulisan status? Nah, untuk yang satu ini komunikasi yang terjalin
hanya satu arah. Dalam artian tidak adanya komunikasi secara intens karena
tulisan status terkadang dikomentari terkadang tidak. Terkadang komentar itu
nyambung dengan tulisan status terkadang pula ngelantur. Yang pasti arah
komunikasinya lebih cenderung ke karakteristik si penutur itu sendiri dalam
menyampaikan perasaan, pesan atau topic tertentu. Semisal, “:: Huffft, gug
ngerti ngaret sangat bis teh.”, “Hai dodol brengsek! Di blkang Gue ternyt lU
bermain api.”, atau “Lieur”, dan sebagainya. Yang lebih menggambarkan suasana
hati si penulisnya.
Dalam tulisan di status juga
terjadi orientasi penulisan status yang disampaikan dalam media simbolis atau
penyingkatan kata dan penulisan lambang angka yang diubah menjadi huruf.
Semisal “468659khjhnie670593jkh57578mfkuuy-“ yang menurut si penulisnya ketika
saya wawancara bahwa itu melambangkan pusing, bingung, sebel, tak menentu, dan
sebagai dan sebagainya, sangat unik tapi rumit. Tapi ya, itulah ragam bahasa
tulis di facebook. Sementara untuk penyingkatan kata sama halnya ketika di sms
karena facebook sendiri dapat di unduh dari seluler.
Namun, di sisi lain banyak
pula tulisan status yang sesuai dengan kaidah penulisan bahasa Indonesia yang
baik dan benar. Tulisan ini lahir dari orang-orang tertentu maksudnya yang
paham apa itu bahasa tulis, selain pula orang itu tidak mau ribet dalam
memandang bentuk tulisan.
Selain aspek tulisan tadi,
motif menulis status itu juga beragam. Ada
yang sekedar iseng, ada yang sekedar berbagi pengalaman, ada yang
menggunakannya untuk media diskusi dan belajar, ada yang menyalurkan
ekspresinya dan ada pula yang hanya sekedar melepas jenuh dengan mengatakan
hal-ha yang menurutnya nikmat. Namun dari motifasi itu ternyata lahir
keberagaman bahasa yang bisa dijadikan sebagai media pembelajaran.
Mengenai aspek pembelajaran
ini, perlu diketahui untuk facebooker yang duduk di bangku sekolah apabila
tidak ada control dari guru bahasa Indonesia menyoal tulisan status mereka maka
seolah-olah bahasa Indonesia (ragam tulis) hanya dianggap sesuatu yang sifatnya
main-main. Dan bila hal ini dibiarkan serta tidak diarahkan maka itu sama juga
dengan mendukung pembentukan karekter si anak dan tentunya mengancam eksistensi
bahasa Indonesia itu sendiri. Jadi guru bahasa Indonesia saya rasa perlu juga
menguasai teknologi jangan sampai diakalin oleh muridnya sendiri dalam hal ini.
Terlepas dari itu semua,
facebook adalah media alternative untuk belajar segala hal termasuk bahasa,
disamping juga media komunikasi yang sangat efektif untuk berbagai kalangan.
Tapi saya selaku masyarakat yang khawatir akan eksistensi bahasa Indonesia
ingin mengajak pembaca sekalian (pendidik, pemerhati bahasa, mahasiswa, orang
tua, dll) untuk menjadikan facebook ini sebagai sekolah yang mengajarkan
pembinaan bahasa Indonesia, tidak hanya mengumbar tulisan yang berisi luapan
perasaan “negative” semata.
***
*) Pa Kin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar